Internet Mahal, Suara Timur Tertinggal
Home/Program / Internet Mahal, Suara Timur Tertinggal
Kolaborasi antara Rumah Moderasi Beragama IAIN Manado, Digital Resilience Indonesia, dan Indonesia School of Internet Governance membincang ketimpangan digital di Timur Indonesia.

Intisari e-Talks Inklusi Digital: Suara Timur Indonesia di Ruang Digital


Malam itu, suara dari Papua, Gorontalo, dan Makassar bertemu dalam satu ruang Zoom. Mereka tidak berbicara soal teknologi canggih atau startup unicorn, melainkan tentang realitas paling dasar: bagaimana untuk bisa terhubung ke internet saja, masyarakat Indonesia Timur harus bersusah payah—bahkan terkadang harus “menunggu tengah malam agar bisa kirim tugas lewat WhatsApp.”

Dipandu oleh Nur Allan Lasido dari Rumah Moderasi Umat Beragama IAIN Manado, forum ini membahas pertanyaan mendasar: apakah internet sudah seharusnya jadi hak dasar seperti air bersih dan listrik? Dan jika ya, kenapa masih banyak anak muda di daerah tertinggal yang kesulitan mengaksesnya?


Papua: antara antena tinggi dan paket data mahal

Anitha Nurak, Kaprodi Ilmu Pemerintahan Universitas Sains dan Teknologi Jayapura, menggambarkan kondisi yang memprihatinkan. “Hanya 47 persen wilayah Papua yang punya akses sinyal internet. Sisanya? Paling hanya bisa telepon atau SMS,” katanya.

Di pegunungan Papua, koneksi internet bukan sekadar sulit—ia nyaris mustahil. Untuk mengirim data survei, Anitha harus turun gunung hingga kabupaten kota. Bahkan dalam pengalamannya, “kadang dosen dan mahasiswa harus kirim tugas jam dua pagi, karena ada ‘paket tengah malam’ yang lebih murah.”

Dan itu pun bukan murah sebenarnya. “Bayangkan, untuk kebutuhan internet keluarga kami bisa habis Rp400.000 – Rp500.000 sebulan. Itu baru dua orang,” ungkapnya. “Kami hanya punya satu provider—plat merah. Tidak ada pilihan.”


Gorontalo: Akses lebih baik, tapi harga tetap tak masuk akal

Imal, dari Gorontalo, menambahkan cerita senada. Meskipun kondisi lebih baik daripada Papua, harga internet tetap tinggi dan pilihan provider terbatas. “Semakin ke timur, akses makin lemah, harga makin mahal. Padahal ini data digital, bukan beras yang harus dikirim pakai kapal,” ujarnya dengan nada getir.

Ia juga menyoroti tata kelola monopoli infrastruktur. “Ada monopoli siapa yang punya tower BTS, siapa yang boleh jualan. Kalau tidak dibuka, ya akses akan begitu-begitu saja.”


Makassar: Internet digunakan, Tapi hanya sekedar pengguna

Dari Makassar, Hasrul Eka Putra (Digital Resilience Indonesia & Fellow ID-School of Internet Governance) menyoroti minimnya kesadaran akan pentingnya tata kelola internet di kalangan anak muda. “Kita diajari menggunakan internet, bukan mengelola. Dianggap sudah ada yang urus. Padahal, kalau kita tak ikut bicara, selamanya kita cuma jadi konsumen.”

Hasrul juga mengkritik program negara yang terlalu terpusat dan kerap gagal menyentuh daerah pinggiran. “Negara sebenarnya bukan tidak mampu menyediakan internet murah—tapi tidak mau. Yang terjadi justru penciptaan narasi bahwa internet harus mahal, harus pakai triliunan,” katanya, merujuk pada skandal program BTS BAKTI Kominfo.

Ia menutup dengan satu refleksi penting: “Kalau kita tak bisa mengejar kesetaraan infrastruktur, minimal jangan tertinggal dalam narasi. Suara Timur harus terus bergema.”


Acara yang diinisiasi oleh kolaborasi antara Rumah Moderasi Beragama IAIN Manado, Digital Resilience Indonesia, dan Indonesia School of Internet Governance itu berakhir bukan dengan solusi pasti, melainkan dengan kesadaran kolektif: bahwa ketimpangan digital bukan soal sinyal semata, tapi soal keadilan. Suara dari timur, yang selama ini dibungkam oleh mahalnya kuota dan langkanya tower, akhirnya mendapat panggung.

Dan seperti disampaikan moderator Nur Allan Lasido dengan tegas, “Inklusi digital bukan soal siapa yang cepat akses TikTok, tapi siapa yang paling tertinggal, dan apakah kita siap menyambungkan mereka.”

Sebab, ketimpangan bukan cuma soal sinyal, tapi juga soal suara: siapa yang didengar, siapa yang tertinggal.**