Ballerina Cappuccina, Secangkir Kopi Buatan AI yang ‘Mengguncang’ Dunia Gen Alpha
Home/Tulisan / Opini / Ballerina Cappuccina, Secangkir Kopi Buatan AI yang ‘Mengguncang’ Dunia Gen Alpha
Saya bergidik karena jika diulang-ulang, kombinasi ini terasa ritmis sekaligus magis, menyerupai mantra. Aneh, tapi justru memikat anak-anak zaman sekarang. Bahkan bisa membuat ketagihan.

Oleh: Ella Devianti Effendi

Direktur Digital Campaign for Social Change Yayasan Digital Resilience Indonesia

SUARA musik monoton yang cenderung spooky berpadu dengan gambar secangkir—atau seorang—cappuccino dengan wajah terlalu simetris. Gerakannya glitchy, nadanya absurd. Terutama suara narator berlogat Italia yang merapalkan kata-kata nyaris tanpa makna. Saya bergidik karena jika diulang-ulang, kombinasi ini terasa ritmis sekaligus magis, menyerupai mantra. Aneh, tapi justru memikat anak-anak zaman sekarang. Bahkan bisa membuat ketagihan.

Inilah konten yang sedang digandrungi Generasi Alpha. Anak-anak yang lahir sejak 2010 hingga 2025. Sepenuhnya lahir di abad ke-21, generasi ini juga dikenal sebagai generasi digital.

Video yang menampilkan karakter AI-generated anomaly seperti Ballerina Cappuccina, Tung Tung Tung Sahur, dan Tralalero Tralala sedang viral di media sosial yang banyak diakses anak-anak seperti TikTok dan YouTube Shorts. Mereka bukan berasal dari kartun klasik, bukan pula karakter edukatif. Fenomena ini dikenal sebagai anomaly character content. Video pendek berbasis AI yang menampilkan tokoh-tokoh visual dan naratif yang janggal.

Dari Mana Asalnya Karakter Aneh Ini?

Karakter seperti Ballerina Cappuccina pertama kali viral di TikTok pada akhir 2023 hingga awal 2024. Ia diciptakan menggunakan teknologi AI image generation dan deepfake animation, lalu diedit untuk menciptakan suasana uncanny yang berkesan “nyaris manusiawi, tapi menyeramkan”. Karakter seperti Tung Tung Tung Sahur dan Tralalero Tralala mengandalkan musik repetitif, efek suara absurd, serta estetika seperti mimpi buruk tapi dibalut tampilan ‘lucu’ dan ‘nyeleneh’ yang cocok untuk algoritma.

Awalnya, karakter-karakter ini muncul dari komunitas kreator TikTok. Namun dalam waktu singkat, kontennya menyebar tanpa filter dan menjadi “mainan virtual” yang dikonsumsi harian oleh anak-anak.

Dari Komunikasi Visual ke Brain Rot

Menurut Richard Petty dan John Cacioppo dalam Elaboration Likelihood Model (1986), manusia memproses informasi melalui dua jalur: central route (berpikir kritis) dan peripheral route (berdasarkan stimulus visual/audio yang dangkal). Konten anomaly AI dengan sengaja memilih jalur periferal berupa paduan warna mencolok, audio repetitif dan wajah aneh, untuk menarik perhatian, bukan pemahaman.

Konten ini tidak membentuk narasi, tidak menawarkan pelajaran, dan sering mengabaikan logika. Tapi justru karena itulah ia mudah ditonton berulang kali tanpa berpikir.

Anak-anak menjadi kelompok yang paling rentan terpengaruh oleh paparan konten semacam ini. Karena berdasarkan teori perkembangan kognitif Jean Piaget (1952), anak usia 2–10 tahun masih berada di tahap preoperational, di mana mereka berpikir simbolik, egosentris, dan mudah terpesona oleh penampilan luar.

Lebih lanjut, Roland Barthes (1977) menjelaskan bahwa setiap gambar membawa pesan. Wajah simetris berlebihan atau gerakan menyerupai error tidak hanya “aneh”, tapi juga menyampaikan pesan simbolik: realitas menjadi tidak dapat dipahami. Anak-anak yang terus-menerus terpapar visual semacam ini berisiko membentuk skema mental yang menyimpang dari kenyataan.

The Medium is the Childhood

Marshall McLuhan (1964) berkata, “The medium is the message.” Media bukan sekadar saluran, tapi juga pembentuk realitas. Ketika anak-anak lebih banyak berinteraksi dengan Ballerina Cappuccina ketimbang cerita rakyat atau komunikasi manusia, mereka akan semakin berpotensi untuk membentuk dunia batin berdasarkan konten absurd.

Ironisnya, banyak orang tua menganggap tontonan ini hanya sebagai hiburan lucu. Padahal, yang tengah terjadi adalah pembentukan struktur berpikir, persepsi, dan empati anak yang kian dangkal melalui media tanpa nilai. Fenomena ini banyak disebut sebagai brain rot, atau pengeroposan otak.

Brain Rot: Ancaman Lost Generation?

Brain rot akhir-akhir ini terdengar seperti istilah gaul, tapi sebenarnya mengandung makna serius: degradasi kemampuan berpikir akibat paparan konten absurd, cepat, dangkal, dan repetitif. Konten AI anomali seperti Ballerina Cappuccina tidak memberi ruang untuk berpikir mendalam, hanya memanjakan otak dengan dopamin instan. Nikmat tapi miskin makna.

Anak-anak yang mengalami brain rot menunjukkan gejala menyerupai gangguan pemusatan perhatian atau ADHD, seperti sulit fokus, cepat bosan, impulsif, dan terus mencari rangsangan baru. Mereka terbiasa disuapi informasi visual dan audio yang cepat berubah, sehingga kesulitan menikmati aktivitas yang memerlukan konsentrasi panjang seperti membaca atau menyelesaikan tugas.

Dr. Dimitri Christakis (2011) menyebut bahwa paparan visual cepat mengganggu fungsi eksekutif otak termasuk kemampuan mengambil keputusan, mengendalikan diri, dan merencanakan masa depan. Sementara Gao dkk. (2024) menemukan bahwa konsumsi video pendek secara intensif melemahkan prospective memory, yakni kemampuan untuk mengingat dan menjalankan rencana ke depan.

Dr. Aric Sigman (2012) menambahkan bahwa budaya digital kini melahirkan generasi yang cepat dalam reaksi, tapi lemah dalam refleksi. Mereka gesit saat scrolling, tapi gagal dalam menyusun fokus, empati, dan penyelesaian tugas. Jika dibiarkan, ini bukan sekadar krisis pendidikan, tapi krisis karakter yang berujung pada lemahnya daya juang di dunia yang justru semakin kejam. 

Negara Hadir, Tapi Cukupkah?

Ketika realitas digital semakin dipenuhi konten absurd, ritme cepat, dan algoritma pemanja impuls, hadirnya negara bukan hal istimewa melainkan keniscayaan. Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2025 atau dikenal sebagai PP TUNAS hadir dengan misi menciptakan ruang digital yang lebih aman dan sehat bagi anak-anak dan kelompok rentan.

Dalam pasal-pasalnya, PP TUNAS mewajibkan platform digital atau Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) menyaring konten tidak ramah anak, menyediakan kontrol orang tua, serta melarang pelacakan data anak untuk tujuan komersial. Platform juga didorong melakukan edukasi digital dan evaluasi risiko atas layanannya.

Secara normatif, PP inisiasi dari Kementerian Informasi dan Digital  ini menjanjikan. Tapi implementasinya penuh tantangan, mengingat rendahnya literasi digital orang tua, infrastruktur internet yang belum merata, hingga algoritma yang belum bisa membedakan humor absurd dan konten berbahaya.

Bagi anak-anak yang sudah terlanjur kecanduan Ballerina Cappuccina dan sejenisnya, penyelesaiannya juga tidak cukup dengan blokir konten. Dibutuhkan kebijakan komprehensif dari pemerintah yang menyentuh masalah mendasar di wilayah pendidikan media, pendampingan orang tua, serta penanaman budaya literasi sejak dini. Jangan sampai solusinya nanti hanya sebatas mempertontonkan video Gubernur yang ‘mengancam’ anak-anak nakal untuk diangkut ke barak militer.**