Gorontalo - Digital Resilience Indonesia dengan bangga berkolaborasi dengan Komunitas Huntu ART Distrik (Hartdisk) dan Tupalo untuk gelaran Maa Ledungga #4 – Pesta Seni Panen Padi 2025, menyelaraskan ketahanan digital, seni dengan kearifan lokal. Kolaborasi ini terjalin dengan semangat gotong royong/Huyula antar komunitas, organisasi, dan gerakan yang menjadi ciri khas bangsa kita saat mengerjakan padi, mengolahnya, hingga memanennya.
Saat jerih payah petani tergerus gagal panen, teror perampasan lahan, dan perubahan iklim yang kian brutal, Pesta Panen Padi “Maa Ledungga” 2025 kembali menggelorakan semangat berlawan dan bertahan. Lebih dari sekadar perayaan, festival ini menyorot derita petani dan seluruh makhluk hidup yang terpinggirkan atas nama pembangunan dan politik. Dengan mengusung tema “Suaka”, Maa Ledungga mengajak kita membuka ruang perlindungan—bagi padi, bagi petani, dan bagi masa depan yang berkelanjutan.
Apa itu Maa Ledungga?
Maa Ledungga adalah seruan dalam bahasa Gorontalo yang dapat diterjemahkan menjadi 'sudah datang' atau 'telah tiba'. Hal tersebut merujuk pada datangnya musim panen padi yang selalu ditunggu para petani dalam kurun waktu 3–4 bulan lamanya.
Gelaran Maa ledungga ke-4 kali ini menyoal persoalan yang lebih luas, yakni suaka.
Suaka adalah istilah yang mendefinisikan dua pokok persoalan penting, mulai dari alam/lingkungan hingga persoalan sosial dan kemanusiaan. Pemikiran ini bermula dari berbagai kekacauan yang semakin menjadi-jadi akibat ulah manusia sendiri, yang mengumandangkan keakuannya serta obsesinya dalam menaklukan alam.
Sebagai mahluk—yang konon dikata—"sempurna", manusia merasa memiliki otoritas penuh dalam mengolah dan memanfaatkan segenap potensi alam untuk sebesar-besarnya demi kepentingannya sendiri. Alam dieksploitasi hingga terjadi berbagai kehancuran. Kehendak berkuasa menjadikan manusia semakin angkuh dan menjadikan makhluk lain sebagai musuh atau semata obyek yang bebas digunakan. Di sisi lain karena perbedaan paham, atau penindasan akibat konsekuensi kelas dan posisi sosial, konflik dan peperangan pun terus berlangsung bahkan ketika manusia sudah semakin "pintar dan beradab".
Tema Suaka mencoba menawarkan respons atas berbagai persoalan tersebut. Siapa sebenarnya yang membutuhkan suaka? Apakah binatang non-manusia, tumbuhan dan makhluk lain selain manusia? Apakah manusia yang menjadi korban keserakahan manusia lainnya yang kehilangan hak, ruang dan hajat hidupnya? Ataukah kehendak yang terus ingin lebih, serakah dan haus akan kekuasaanlah yang harus disuaka?
Melalui tawaran ini para seniman, perupa, kelompok rupa, kolektif, diajak merespons tema dengan karakter karya dan kecenderungan estetikanya masing-masing. Harapannya akan lahir berbagai bentuk intepretasi yang beragam berdasarkan internalisasi dan penghayatannya masing-masing.
Gelaran ini akan akan dilaksanakan pada akhir bulan April hingga awal bulan Mei tahun 2025, dan akan diikuti oleh sekitar 30-an seniman, baik seniman lokal maupun seniman undangan dari luar Gorontalo. Tempat pameran dibagi menjadi tiga lokasi: gilingan padi Ka Mi’u, gilingan padi Ka Jami, dan di Huntu Art District ,di Desa Huntu Selatan, Kecamatan Bulango Selatan, Kabupaten Bone Bolango, Provinsi Gorontalo.
Ikuti update dan cerita lebih dalam tentang Maa Ledungga disini.