Blockchain dan Ketahanan Data Pertanahan
Home/Tulisan / Opini / Blockchain dan Ketahanan Data Pertanahan
Penerapan sertipikat elektronik berbasis blockchain bukan sekadar inovasi digital, tetapi langkah strategis membangun ketahanan data, menutup celah sengketa, dan memperkuat kepercayaan publik terhadap sistem pertanahan nasional.

Oleh: Ella D Effendi
Pemerhati Komunikasi Kebijakan Publik & Direktur Digital Campaign for Social Change


Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) sejak beberapa tahun terakhir memang telah melakukan digitalisasi besar-besaran terhadap layanan pertanahan, termasuk penggantian sertipikat fisik menjadi sertipikat elektronik. Sistem ini diklaim lebih aman dibanding versi cetaknya.

Hal ini ditegaskan oleh Menteri ATR/BPN Nusron Wahid dalam konferensi pers pada Februari 2025, “Barang yang sudah berbentuk (sertipikat) elektronik dengan sistem backup berlapis. Tidak mungkin semua data bisa hilang. Berbeda dengan sertipikat berbentuk kertas,” tegasnya.

Ia pun menyatakan bahwa sistem keamanan sudah menerapkan firewall berlapis dan data center berstandar tinggi, “Di sini firewall-nya kuat, yang nomor dua, data centernya berlapis. Kita juga punya backup cadangan, pertama, second line, third line, sampai lapis-lapis. Jadi tidak ada yang perlu dikhawatirkan,” ungkap Menteri Nusron Wahid di hadapan awak media.

Sejumlah fitur pendukung juga telah diterapkan, seperti tanda tangan elektronik dan QR code yang dapat dipindai untuk memastikan keaslian sertipikat elektronik. Per Juli 2025, BPN mencatat telah menerbitkan lebih dari 5.151.000 sertipikat elektronik, 4.595.850 hak tanggungan elektronik dengan nilai mencapai Rp5.015 triliun, serta 14.659.000 dokumen pengecekan informasi pertanahan. Jumlah ini menandakan bahwa sistem elektronik BPN telah diakui oleh lembaga peradilan dan digunakan dalam proses hukum seperti pelelangan tanah.

Meski begitu, laporan kasus sertipikat ganda, pemalsuan, dan sengketa masih terjadi. Hal tersebut bisa terjadi karena kompleksitas penataan ulang data manual yang selama ini belum rapi.

Menjawab Tantangan Data dan Keamanan
Digitalisasi sertipikat tidak hanya berkaitan dengan transformasi dokumen analog menjadi elektronik, tapi juga tentang penataan ulang data yang sangat kompleks. Kepala Pusat Data dan Informasi (Kapusdatin) Kementerian ATR/BPN, I Ketut Ary Sucaya menekankan bahwa jumlah data yang luar biasa banyak bisa dioptimalisasi menggunakan teknologi digital.

“Kita di BPN ada satu data khusus yang namanya data spasial. Apa itu data spasial? Data yang bersifat ruang. Ini peta. Peta itu tidak disimpan berupa gambar, tapi dia berupa titik-titik koordinat yang membentuk suatu luasan misalnya. Atau titik-titik yang membentuk suatu titik seperti misalnya Ibu Kota, dan lain-lain. Dan ini jumlahnya sangat-sangat banyak,” ujarnya dalam Seminar Nasional ILUNI FH Unika Atma Jaya bertema Transformasi Digital dalam Administrasi Pertanahan : Alih media sertipikat analog menjadi sertipikat elektronik di Jakarta, Jumat (25/7).

Selain itu, Ketut juga menjelaskan bahwa transformasi digital yang dilakukan BPN mengacu pada standar Internasional Land Administration Domain Model (LADM) yang ditetapkan dalam ISO 19152-2012. Standar ini memungkinkan interoperabilitas data pertanahan antarnegara.

“Artinya memang di dunia ini, dunia pendaftaran tanah sedang bergerak ke arah elektronik. Sehingga distandarkanlah struktur data tersebut supaya antar negara ini nanti datanya itu bisa interop. Bisa saling baca, karena datanya sudah standar,” ujarnya.

Belajar dari Negara Lain
Tidak hanya digitalisasi sertipikat, beberapa negara telah lebih dulu memanfaatkan blockchain untuk dokumen pertanahan. Di Georgia, sistem National Agency of Public Registry telah menggunakan blockchain sejak 2016 bekerja sama dengan Bitfury, untuk mencatat dan memverifikasi transaksi properti. Swedia, melalui badan Lantmäteriet, telah melakukan pilot project sejak 2017 untuk mentransfer properti dengan kontrak pintar (smart contract). Dubai bahkan menargetkan semua dokumen pemerintah, termasuk digitalisasi sertipikat properti berbasis blockchain pada 2030. Lalu, California juga bereksperimen dengan dokumen properti digital berbasis teknologi ledger terdistribusi.

Semua langkah ini menunjukkan bahwa blockchain bukanlah hal baru. Bahkan sudah menjadi new paradigm untuk dokumen publik yang bersifat sensitif dan bernilai ekonomi tinggi.

Di Indonesia, gagasan penerapan blockchain di sektor pertanahan bukanlah ide tiba-tiba. Sudah sejak era Menteri ATR/BPN Hadi Tjahjanto wacana integrasi blockchain mulai digagas. Bahkan, Dr. Suyus Windayana, salah satu pejabat senior di lingkungan Kementerian ATR/BPN, menulis disertasi doktoralnya di ITB tentang manfaat teknologi blockchain dalam mempercepat digitalisasi pelayanan pertanahan, termasuk penerapan sertipikat elektronik.

Gagasan ini menunjukkan bahwa para ahli di dalam kementerian sendiri telah menyadari pentingnya memanfaatkan teknologi ini. Oleh karena itu, Kementerian ATR/BPN selayaknya bisa lebih progresif dalam mendorong realisasi inisiatif ini secara menyeluruh. Jika sistem blockchain diadopsi, bukan saja keamanan data semakin kuat, namun legitimasi publik atas dokumen pertanahan termasuk sertipikat elektronik akan melonjak drastis. Ini adalah prasyarat penting untuk mempercepat proses digitalisasi layanan pertanahan secara nasional.

Blockchain: Memperkuat Keamanan Sertipikat Elektronik
Meski sertipikat elektronik yang digunakan saat ini sudah terbilang aman, kita tetap perlu mengakui bahwa masih tetap ada celah teknologi yang dikhawatirkan publik. Apalagi jika sudah berbicara persoalan administratif, kepemilikan aset bernilai tinggi, dan kepercayaan publik.

Sertipikat tanah, sebagai bukti legal paling fundamental atas hak atas tanah, membutuhkan perlindungan jangka panjang terhadap risiko kecurangan, pemalsuan, dan konflik kepemilikan. Inilah momen krusial di mana blockchain bukan hanya relevan, tapi sangat dibutuhkan. Teknologi ini menciptakan sistem pencatatan yang tidak dapat diubah (immutable), transparan, dan dapat diaudit oleh siapa pun secara real-time.

Karena itu rencana pengadopsian teknologi blockchain dalam sistem digitalisasi pertanahan di Indonesia bukan sekadar inovasi teknis, melainkan langkah strategis untuk memutus rantai panjang ketidakpercayaan publik terhadap keamanan dan integritas data pertanahan. Dengan sifatnya yang transparan, immutable, dan tercatat secara permanen, blockchain dapat menjadi pondasi kepercayaan baru antara negara dan rakyat.

Dengan penerapan teknologi ini kelak, dokumen yang tumpang tindih bisa diminimalisasi, celah untuk permainan mafia tanah bisa ditutup rapat, dan potensi konflik kepemilikan dapat ditekan sejak awal. Artinya, penguatan sistem ini memberi manfaat ganda, yakni memudahkan negara dalam mengelola dan melindungi aset, sekaligus memberikan kepastian hukum dan rasa aman bagi masyarakat luas. Sebuah lompatan menuju reformasi agraria digital yang berkeadilan.**



Tulisan ini sebelumnya telah terbit di TanahRakyat.com dengan judul "Sertipikat Elektronik Keniscayaan, Blockchain Jamin Keamanan". Dimuat kembali untuk tujuan edukasi.