Di tengah aspirasi dan tuntutan perubahan, Digital Resilience Indonesia (DiRI) menyoroti tantangan serius di ruang digital. DiRI mengidentifikasi adanya misinformasi, serangan siber, pembatasan akses, dan kriminalisasi ekspresi yang merusak ketahanan digital bangsa. Untuk itu, DiRI mengajak pemerintah, platform digital, dan masyarakat sipil untuk berkolaborasi membangun ekosistem digital yang aman dan tangguh, demi menjaga ruang publik tetap demokratis.
Penerapan sertipikat elektronik berbasis blockchain bukan sekadar inovasi digital, tetapi langkah strategis membangun ketahanan data, menutup celah sengketa, dan memperkuat kepercayaan publik terhadap sistem pertanahan nasional.
Jika wacana ihwal AI sudah mencapai ranah ontologis agama, lalu bagaimana nasib otentisitas iman? Di satu sisi, agama dituntut untuk beradaptasi dengan zaman. Namun, ketika agama berhasil berkompromi dengan AI, apakah sakralitasnya memudar, sama seperti AI yang nyaris “mengkebiri” imajinasi kreatif manusia di dunia seni?
Saya bergidik karena jika diulang-ulang, kombinasi ini terasa ritmis sekaligus magis, menyerupai mantra. Aneh, tapi justru memikat anak-anak zaman sekarang. Bahkan bisa membuat ketagihan.
Dapatkah AI, meski tanpa kesadaran seperti manusia, menjadi “kawan” tokoh agama dalam dakwah, atau justru menjauhkan dimensi emosional antara ulama dan umat? Bagaimana cara memastikan konten keagamaan di ruang AI tetap moderat dan progresif untuk mendukung wacana yang kondusif?