Jika wacana ihwal AI sudah mencapai ranah ontologis agama, lalu bagaimana nasib otentisitas iman? Di satu sisi, agama dituntut untuk beradaptasi dengan zaman. Namun, ketika agama berhasil berkompromi dengan AI, apakah sakralitasnya memudar, sama seperti AI yang nyaris “mengkebiri” imajinasi kreatif manusia di dunia seni?
Saya bergidik karena jika diulang-ulang, kombinasi ini terasa ritmis sekaligus magis, menyerupai mantra. Aneh, tapi justru memikat anak-anak zaman sekarang. Bahkan bisa membuat ketagihan.
Dapatkah AI, meski tanpa kesadaran seperti manusia, menjadi “kawan” tokoh agama dalam dakwah, atau justru menjauhkan dimensi emosional antara ulama dan umat? Bagaimana cara memastikan konten keagamaan di ruang AI tetap moderat dan progresif untuk mendukung wacana yang kondusif?