Menyandarkan Iman pada Kecerdasan Buatan, Apakah Sepadan?
Home/Tulisan / Opini / Menyandarkan Iman pada Kecerdasan Buatan, Apakah Sepadan?
Jika wacana ihwal AI sudah mencapai ranah ontologis agama, lalu bagaimana nasib otentisitas iman? Di satu sisi, agama dituntut untuk beradaptasi dengan zaman. Namun, ketika agama berhasil berkompromi dengan AI, apakah sakralitasnya memudar, sama seperti AI yang nyaris “mengkebiri” imajinasi kreatif manusia di dunia seni?

Oleh: Haris Fatwa (Direktur Digital Media Research & Consulting - DiRI)

.... who needs God when we’ve got Google?

Kutipan di atas disadur langsung dari buku Religion and Artificial Intelligence (2021) karya Beth Singler. Beth terlihat serius mengucapkan ini. Ia ingin menunjukkan bahwa benturan antara AI dan praktik agama sudah sangat intens. Akibatnya, umat beragama mulai mempertanyakan apakah iman mereka benar-benar sakral atau jangan-jangan hanya “artifisial”.

Situasi serupa terjadi kala AI mulai mendisrupsi ranah kreatif, seperti saat gambar bergaya Studio Ghibli—milik studio animasi legendaris Jepang—sekarang bisa dihasilkan melalui ChatGPT hanya dalam hitungan detik. Baru-baru ini, alat baru seperti Google Veo 3 dan Flow AI bisa dengan mudah mengubah teks menjadi video sinematik realistis dalam hitungan menit.

Dunia seni dan kreativitas mulai mempertanyakan bagaimana nasib orisinalitas, esensi, dan etika seni di masa depan. Sama seperti seni, agama adalah upaya umat manusia untuk menemukan makna dan nilai dalam hidup (Armstrong, 2012).

Sekarang, wacana seputar AI dan praktik agama telah memasuki ranah filosofis. Kita mungkin akan mendukung AI dalam konteks praktis untuk membantu praktik agama. Misalnya, meminta Gemini untuk menyusun urutan doa saat Umrah atau sekadar menerjemahkan teks-teks keagamaan klasik.

Namun, apakah kita masih akan berpihak kepada AI saat ia “sudah berani” mengklaim bahwa agama tidak lagi relevan dalam menentukan standar moral manusia?

Linda Kinstler dalam artikelnya Can Silicon Valley Find God? (2021) mengatakan bahwa AI kini memiliki peluang untuk menantang pandangan tradisional umat manusia tentang moralitas, yang seringkali berakar pada ajaran agama.

Kemampuan AI untuk membuat keputusan yang kompleks dan cepat telah memunculkan wacana baru tentang siapa yang seharusnya memiliki otoritas untuk menetapkan nilai moral: manusia, lembaga agama, atau mesin. Pertanyaan ini tentu saja memancing amarah para pemuka agama. Sebagai patron dari pandangan tradisional itu, mereka mengungkapkan kekhawatiran bahwa AI bisa mengeliminasi pengaruh agama dalam membentuk etika manusia.

Jika wacana ihwal AI sudah mencapai ranah ontologis agama, lalu bagaimana nasib otentisitas iman? Di satu sisi, agama dituntut untuk beradaptasi dengan zaman. Namun, ketika agama berhasil berkompromi dengan AI, apakah sakralitasnya memudar, sama seperti AI yang nyaris “mengkebiri” imajinasi kreatif manusia di dunia seni?

Mari kita uji tesis di atas dalam konteks negara dengan tingkat religiusitas tertinggi di dunia, Indonesia. Pada tahun 2024, Indonesia menempati peringkat sebagai negara paling religius di dunia (Pew Research, 2024). Asumsinya, bahwa masyarakat Indonesia sangat bergantung pada argumentasi keagamaan dalam pengambilan keputusan dan kehidupan sehari-hari.

Di sisi lain, Indonesia memiliki tingkat literasi yang relatif rendah di panggung global. Temuan dari Programme for International Student Assessment (PISA) 2022 menunjukkan bahwa Indonesia berada di peringkat 71 dari 81 negara dalam hal keterampilan literasi membaca.

Saya menduga bahwa kombinasi antara religiositas yang kuat dan tingkat literasi yang rendah adalah masalah mendasar yang signifikan di balik isu-isu soal praktik beragama dan teknologi. Kedua faktor ini bisa melahirkan taklid buta (blind obedience), eksklusivitas, dan pseudo-religiositas.

Nah, pseudo-religiositas ini menarik. Kita harus sepakat bahwa hingga saat ini, agama dan iman adalah dua bahasan yang sakral. Begitu sakralnya, sampai-sampai Negara membuat Undang-Undang No. 1/PNPS/1965 tentang Penistaan Agama untuk “melindungi” sakralitas agama ini.

Meminjam sebuah tesis dari pakar studi agama-agama, Mircea Eliade dalam bukunya The Sacred and the Profane (1961), ia  menggambarkan yang sakral sebagai representasi dari realitas ilahi yang menghubungkan manusia dengan sesuatu yang transenden. Salah satu gagasan utama Eliade adalah bahwa agama sebagai sesuatu yang sakral juga harus dijelaskan melalui fenomena yang sakral. Ini mengasumsikan bahwa menjelaskan kesucian agama melalui realitas di luar agama adalah tidak sah.

Lalu, apa realitas dalam agama? Eliade kemudian memperkenalkan konsep “simbol dan mitos”. Simbol-simbol sakral dalam agama Kristen, misalnya, berhubungan dengan benda seperti salib, roti dan anggur dalam Sakramen Perjamuan, air dalam Pembaptisan, dan minyak dalam Pengurapan. Dalam Islam, simbol ini di antaranya direpresentasikan oleh Al-Qur’an sebagai entitas yang sakral.

Al-Qur’an menjadi instrumen sakral yang menghubungkan umat Muslim dengan zat Ilahi yang transenden. Kajian Al-Qur’an biasanya disampaikan oleh ulama. Dalam wacana Islam, ulama dipahami sebagai entitas sakral dan perpanjangan dari Nabi. Di Indonesia, ulama mengajawantah dalam sosok-sosok seperti habib, kyai, gus, dan pemimpin agama lainnya. Penghormatan kepada mereka dapat dilihat sebagai upaya untuk menghubungkan umat dengan yang sakral sebagai pengalaman religius yang otentik.

Ketika AI mulai menawarkan model alternatif dan jawaban atas ritual dan pertanyaan doktrinal umat Muslim—area yang pada dasarnya adalah domain Al-Qur’an dan ulama—kita mulai melihat ancaman terhadap struktur Eliade tadi. Dikotomi antara yang sakral dan yang profan menjadi semakin kabur.

Jika mengkaji Al-Qur’an melalui ChatGPT, misalnya, mungkin ia akan memberikan interpretasi berbasis data dengan cepat. Namun, dapatkah ChatGPT menangkap nuansa historis, budaya, dan spiritual yang terkandung dalam teks-teks tersebut? Sementara itu, sebagian besar komunitas Muslim mengakses Al-Qur’an dan perangkat keilmuannya sebagai cara untuk mendekatkan diri dengan yang sakral.

Jika pada akhirnya, umat beragama hanya mengandalkan ChatGPT untuk tujuan komputasional untuk menyediakan data yang efisien, maka dari perspektif Eliade, itu rentan mengurangi kesucian karena tidak dapat mengakomodasi pengalaman spiritual sebagai bagian tak terpisahkan dari praktik agama.

Sakralitas yang melekat pada kyai dan habib itu menjadi samar karena AI semakin mengkaburkan urgensi kehadiran mereka. Bagaimana umat beragama ingin menguatkan iman yang sakral tanpa perjumpaan spiritual yang otentik itu?

Klaimnya tertolak, kalau kata Eliade.

Seperti dalam logika seni, jika AI dapat menghasilkan “karya seni” dengan begitu cepat, konsekuensinya adalah bahwa imajinasi kreatif manusia yang kompleks mungkin menjadi tidak relevan. Manusia dipaksa untuk mendefinisikan ulang apa itu esensi seni, termasuk menafsirkan kembali apa itu etika dan estetika.

Dengan kata lain, jika kita berspekulasi bahwa AI pada akhirnya akan menciptakan nilai moral baru, maka pertanyaannya adalah, “Apa yang akan terjadi dengan agama di masa depan?” Jawabannya bergantung pada apakah umat beragama bersedia (atau perlu) berkompromi dan berunding dengan realitas dunia yang baru ini.

Namun, jika agama benar-benar memisahkan diri dari ranah sakral...

... who needs God when we’ve got Google?***