Oleh: Haris Fatwa (Direktur Digital Media Research & Consulting - DiRI)
Kecerdasan buatan, artificial intelligent atau akal imitasi, memang sudah diperbincangkan sejak lama. Bahkan sebelum memasuki milenium kedua. Tetapi transformasi budaya digital manusia pasca Covid-19 membuat diskursus AI memasuki babak baru. Fase di mana persinggungan antara manusia dan mesin-mesin cerdas tidak dapat lagi dielakkan.
Mesin-mesin cerdas ini misalnya sudah menginfiltrasi ranah keagamaan. Di tahun 2023, Gereja St. Paul di Bavarian, Furth, Jerman, menampilkan khotbah yang menyertakan teks buatan ChatGPT, layanan chatbot AI besutan openAI yang cukup populer saat ini.
Selama 40 menit, khotbah itu disampaikan oleh avatar pada layar televisi yang diletakkan di atas altar. Tak ada lagi penampakan pendeta yang biasanya membawakan khotbah. Informasi yang disampaikan oleh avatar pendeta tersebut tentu saja telah diprogram sebelumnya oleh manusia. Diklaim bahwa 98% proses pelayanan di gereja tersebut berbasis kecerdasan buatan (CNBC, 2023).
Kabar efektifitas peran AI ini juga sampai pada organisasi teror besar di dunia, Al-Qaeda. Organisasi militan Islam itu mulai mendiskusikan penggunaan akal imitasi dalam menggaet simpatisan. Pada tanggal 9 Februari 2024, sebuah kelompok yang berafiliasi dengan al-Qaeda mengumumkan akan mulai mengadakan lokakarya AI online. Mereka bermitra dengan organisasi afiliasi al-Qaeda lainnya untuk merilis panduan setebal 50 halaman berjudul “Incredible Ways to Use Artificial Intelligence Chat Bots” yang memberikan gambaran dasar pengoperasian ChatGPT milik OpenAi (The Washington Post, 2024).
Fenomena ini menarik sekaligus meresahkan. Pertanyaannya, apakah dalil-dalil keagamaan yang “difatwakan” AI ini otoritatif sebagai landasan praktik beragama atau tidak. Mengingat Indonesia adalah negara paling relijius di dunia (Pew, 2024), maka hampir pasti wacana keagamaan juga akan mengalir deras dari corong-corong instrumen akal imitasi ini.
Selain aspek teknis penggunannya, teknologi AI ke depan boleh jadi akan bertemu vis-à-vis dengan ajaran agama secara langsung. Ajaran agama seringkali melibatkan penafsiran teks dan fatwa-fatwa praktis. Dengan kemampuan AI untuk memproses sejumlah besar informasi dan menawarkan wawasan, boleh jadi ke depan AI dapat membantu memberikan interpretasi ajaran agama bahkan memberikan bimbingan spiritual yang dipersonalisasi.
Fenomena ini dibaca oleh Heidi A. Campbell sedekade lalu dalam salah satu tulisannya berjudul The Rise of the Study of Digital Religion (2013). Campbell merumuskan bahwa istilah “agama digital” adalah ruang teknologi dan budaya yang muncul ketika terjadi integrasi antara bidang agama online dan offline.
Dalam pengertian ini, digitalisasi keagamaan menjadi sebuah perluasan atau dapat dilihat sebagai jembatan yang menghubungkan dan memperluas praktik dan ruang keagamaan. Tesis Campbell ini melahirkan apa yang disebut dengan ‘spiritualitas digital’, yaitu benturan yang tidak terelakkan antaragama yang kawin-mawin dengan mesin- mesin digital.
Izak Y.M. Lattu (2020) mengatakan bahwa praktik beragama masyarakat Indonesia berubah signifikan di era pandemi Covid-19. Sebelum pandemi, komunitas Kristen terkonsetrasi di gereja masing-masing dalam beribadah. Saat pandemi ketika kebijakan pembatasan sosial, komunitas Kristen mulai beribadah di rumah masing-masing melalui media sosial dan fitur digital. Izak Lattu mengistilahkannya dengan click-activism dan cybertheology, yaitu sebuah norma baru dalam mengakses urusan-urusan keimanan dalam konteks kekristenan.
Mengutip Global Fatwa Index, Syaikh Syauqi ‘Allam, Mufti Dar al-Ifta’ Mesir saat ini menyebut 40% penggunaan AI berdampak positif bagi konteks keagamaan dan aktivitas fatwa. Penggunaan AI meningkatkan kinerja dan produktivitas lembaga fatwa untuk menyediakan informasi keagamaan dalam berbagai bidang secara cepat, murah, dan melimpah. Dari aspek kebahasaan, AI membantu menerjemahkan fatwa ke dalam berbagai bahasa sehingga bisa diakses oleh negara-negara yang terjemah fatwanya tersedia.
Dalam konteks otoritas keagamaan, walaupun AI dilengkapi seperangkat informasi dan program yang membuat kecerdasannya (intelligent) bahkan melampaui manusia, ia tidak memiliki kesadaran (conciousness) sebagaimana manusia. Maka dari itu, kedudukan hukumnya sama dengan entitas benda mati yang tidak mungkin memenuhi syarat-syarat menjadi subjek hukum, apalagi otoritas tunggal keagamaan.
Artinya, AI dapat menjadi “kawan” para tokoh agama untuk menjangkau audiens dalam tataran praktis. Tetapi dalam ranah dogmatis, walaupun AI bisa memberikan asistensi keagamaan secara virtual dan memberikan saran, pengambilan keputusan tersebut tetap berada di tangan manusia, yakni otoritas keagamaan tradisional, para tokoh agama. Dalam arti lain, ChatGPT menjadi semacam penyambung otoritas ulama melalui ruang kecerdasan buatan.
Dari segi kualitas dakwahya, komunitas agama-agama rasanya juga perlu menormalisasi dan mengintensifikasi konten-konten keagamaan bernuansa moderat dan progresif di media online. Upaya ini mempertimbangkan bahwa ChatGPT, pun dengan produk AI lainnya, akan merujuk big data di mana seluruh gagasan keagamaan berkontestasi.
Dengan membanjiri ruang-ruang online dengan konten positif, maka porsi yang diambil sebagai underlying data ChatGPT juga akan didominasi oleh konten positif. Ini sangat membantu mewujudkan wacana yang kondusif dalam ruang-ruang AI itu.
Keberadaan AI memang melahirkan jarak antara aspek intelektual dan emosional antara tokoh agama dan jemaah. Revolusi digital menawarkan cara berkomunikasi yang borderless dan bodyless. Tanpa bertemu langsung, guru agama kemungkinan besar akan gagal menangkap kompleksitas konteks persoalan yang dihadapi oleh umat di akar rumput sehingga fatwa yang diberikan akan lebih dekat pada kesalahan dan kurang maslahat.
Walakhir, umat beragama tidak bisa menolak AI. Mereka pun juga tidak bisa mengandalkan AI an sich. Karenanya, penggunaan AI haruslah proposional. Selain untuk menjaga sakralitas dan otoritas keagamaan, kebijaksanaan kita dalam mengakses AI akan berdampak pada kualitas kecerdasan emosional kita sendiri.**