Strategi Menghadapi Brain Rot Anak: Ancaman Konten Anomali AI bagi Gen Alpha
Home/Program / Strategi Menghadapi Brain Rot Anak: Ancaman Konten Anomali AI bagi Gen Alpha
Fenomena konten digital aneh dan repetitif seperti Ballerina Cappuccina tengah menyita perhatian Gen Alpha—dan mencemaskan para orang tua. Menanggapi tren brain rot ini, Yayasan Digital Resilience Indonesia (DiRI) menggelar e-Talks bersama Halo Jiwa Indonesia dan Keluarga Kita, membahas strategi menghadapi konten anomali AI yang kian masif di platform anak.

Jakarta — Konten digital berisi visual absurd, musik repetitif, dan durasi pendek kini menjamur di platform populer dan menarik perhatian anak-anak Gen Alpha. Fenomena ini dikenal sebagai konten brain rot—konten singkat yang tampak lucu, namun dapat mengganggu kemampuan berpikir reflektif dan memicu kecanduan digital. Bagi orang tua, tantangan ini menuntut pendekatan baru dalam mendampingi tumbuh kembang anak di tengah era algoritma dan konten anomali berbasis AI.

Menanggapi fenomena tersebut, Yayasan Digital Resilience Indonesia (DiRI) bekerja sama dengan Yayasan Halo Jiwa Indonesia dan Relawan Keluarga Kita (Rangkul) Lampung menggelar seminar daring e-Talks bertajuk “Tren Ballerina Cappuccinna & Gen Alpha: Tips dan Trik Hindari Kecanduan Konten Anomali AI”, pada Selasa (10/6/2025).

Memfasilitasi Rasa Bosan Anak

Nur Hafidzah, associate psychologist Yayasan Halo Jiwa Indonesia menuturkan bahwa anak-anak di rentang usia 2-7 tahun masih dalam tahap perkembangan pre-operational. Artinya, anak-anak belum bisa membedakan mana yang nyata dan mana yang khayalan.

Menurutnya, kondisi psikologis ini membuat anak rentan terjerumus dalam konten-konten anomali dengan durasi pendek yang mudah melekat pada benak anak. Jika sudah ketagihan, anak bisa menjadi lebih cepat marah, sulit fokus dan kehilangan empati.

“Orang tua perlu sadar tentang berkembangnya konten semacam itu, karena bisa menjadi konten brain rot yang meskipun terlihat lucu tapi punya potensi merusak struktur berpikir anak,” imbuhnya. 

Ia menambahkan bahwa melatih anak mengenali rasa bosan adalah salah satu strategi menghindarkan anak dari potensi kecanduan konten brain rot, sekaligus jadi hal terpenting di masa tumbuh kembang anak. 

“Terlalu cepat mengalihkan anak dari rasa bosan akan membuat mereka kehilangan peluang mengenali potensi diri. Izinkan anak menggunakan rasa bosan itu untuk menggali kreativitas atau ide mereka untuk mengembangkan potensi dirinya. Karena terkadang anak itu tidak sadar bahwa ia berpotensi mewarnai karena diintervensi untuk melakukan itu bukan karena keinginannya sendiri,” pungkasnya.

Apa Bedanya Kartun Anak dan Konten Anomali AI?

Salah satu pertanyaan menarik dari peserta webinar adalah terkait perbedaan antara kartun biasa dengan konten anomali AI yang dianggap memicu brain rot. Menjawab ini, Ella Devianti Effendi, Direktur Digital Campaign for Social Change DiRI, menjelaskan bahwa terdapat tiga elemen utama yang membuat sebuah konten masuk dalam kategori brain rot:

“Pertama, kontennya absurd atau menyalahi logika umum. Kedua, menggunakan musik yang monoton dan repetitif. Ketiga, berdurasi pendek tanpa narasi atau penjelasan logis. Hanya semacam potongan gerakan tanpa makna,” jelas Ella.

Pertanyaan lain datang dari peserta yang khawatir dengan paparan konten anomali AI, terutama karena anak-anak sering mengetahuinya dari lingkungan bermain di luar rumah.

Menanggapi hal ini pembicara lain yakni Upi Fitriyanti, Fasilitator Relawan Keluarga Kita  atau Rangkul Lampung, menyatakan bahwa teknologi selalu punya dua sisi. Karena itu penting bagi orang tua mengarahkan anak memanfaatkan teknologi ke arah yang positif. 

Upi juga mengingatkan pentingnya membentuk komunikasi dua arah antara orang tua dan anak. Menurutnya, salah satu kunci agar anak tidak merasa tertekan justru dengan membangun kesepakatan dan pemahaman bersama.

“Celah anak untuk diajak bicara itu ada saat emosinya tersentuh. Jadi, penting bagi orang tua untuk memahami kondisi mental anak di setiap tahap usianya,” ucapnya.

Ia menambahkan bahwa salah satu kegagalan komunikasi orang tua pada anak adalah mereka memarahi anak tanpa tujuan yang pasti. Sisi emosional orang tua yang berlebihan ini kadang mengaburkan poin dan harapan yang hendak disampaikan pada anak. Karena itu ia berharap orang tua bisa lebih dulu membangun sisi afektif dalam komunikasi agar bisa membentuk support system terbaik dalam tumbuh kembang anak. 

PP TUNAS: Oase di Tengah Ketergantungan 

Dalam diskusi online ini, ketiga narasumber sepakat bahwa kehadiran konten brain rot sangat berpengaruh bagi gen Alpha. Utamanya karena sifat konten brain rot yang sangat menarik dari sisi audiovisual, sesuai perkembangan psikologi generasi kelahiran tahun 2010 hingga 2025. 

Ella Devianti dari DiRI menambahkan bahwa ketertarikan hingga ketergantungan gen Alpha terhadap konten anomali tersebut tidak lepas dari mekanisme algoritma di dunia maya. Karena itu ia mengapresiasi hadirnya pemerintah lewat PP TUNAS, Peraturan Pemerintah tentang Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik dalam Perlindungan Anak, yang digagas Kementerian Komunikasi dan Digital. Dalam aturan ini platform digital diwajibkan memenuhi beberapa standar tertentu, termasuk larangan menggunakan data anak untuk kepentingan iklan. 

Diskusi dalam seminar ini membuka pemahaman baru bahwa perlu bagi orang tua untuk terus belajar menjadi pendamping yang empatik, sadar zaman, serta bersedia belajar bersama anak-anaknya. Selain itu, perlu adanya pencegahan sistemik berbasis teknologi dari pemerintah, dalam hal ini Kementerian Informasi dan Digital, untuk membendung arus liar konten-konten merusak di dunia maya. Implementasi PP TUNAS serta peningkatan literasi digital para orang tua diharapkan menjadi solusi jangka panjang atas tantangan di era disrupsi teknologi ini.**